Jumat, 19 Juli 2013

Praktik Ngindung (Numpang Tinggal) Dari Kacamata Hukum

Terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan.
 
Berdasarkan pemahaman kami, ngindung merujuk pada kata mengindung, yang basisnya berasal dari kata induk. Kata ngindung lazim dikenal di Yogyakarta untuk menggambarkan orang atau warga yang belum memiliki rumah diperbolehkan tinggal di wilayah kraton milik Sultan. Lama kelamaan terbentuk kampung ngindung. Selain ngindung, ada juga yang disebut magersari. Bedanya,ngindung biasanya dikenakan uang sewa tanah, sedangkan magersari tidak dikenakan sewa tanah.
 
Dalam bukunya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan IndonesiaNi’matul Huda mengatakan orang yang ngindung (turut menghuni) berkewajiban menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan tanah/rumah. Misalnya, kerig desa, ronda, membuat/memperbaiki/memelihara bendungan, dan selokan jalan desa.
 
Ni’matul Huda membagi ngindung atas dua jenis, yaitu ngindung biasa(mempunyai rumah sendiri di atas tanah orang lain), dan ningdung tlosor yang mengandung arti sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri, semata-mata dia hidup dalam rumah bukan miliknya yang berada di atas tanah milik orang lain (2013: 211).
 
Jika yang Anda maksud praktik numpang tinggal di rumah milik orang lain (ngindung tloso), maka praktik semacam itu sebenarnya tak hanya terjadi di Yogyakarta. Sangat mungkin ditemukan praktiknya di tempat lain. Kita tahu masyarakat Indonesia memiliki keragaman hukum agraria (Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, 2010: 3) yang perlu didalami dan didekati dengan baik.
 
Dalam kasus ini, seperti yang Anda ceritakan, tanah beserta bangunan di atasnya adalah pembelian almarhumah nenek Anda. Jika benar-benar nenek Anda punya bukti pembelian atau sertifikat atas tanah tersebut, tentu posisi Anda akan lebih kuat. Sehingga, menjawab pertanyaan pertama Anda, posisi ketiga pengindung sebenarnya tidak terlalu kuat untuk mengklaim sebagai pemegang hak atas tanah dan bangunan, apalagi jika mengklaim sebagai pemilik.
 
Sayang, tak dijelaskan apakah para pengindung tersebut sekadar numpang tinggal atau mereka sebenarnya membayar sewa. Jika yang terjadi adalah sewa menyewa, maka dalam hubungan ini berlaku ketentuan sewa menyewa dalam Pasal 1548 s.d. Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
 
Menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, kami mencoba merujuk pada tulisan Ni’matul Huda. Dosen UII Yogyakarta ini menyebut adanya kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan orang yang numpang. Misalnya, tidak boleh mengalihkan tanah/rumah kepada pihak ketiga. Dalam konteks pertanyaan, jelas bukti hak milik dipegang keluarga Anda.
 
Mengenai kewajiban membayar pesangon, kami belum menemukan dasar hukum dimaksud. Pesangon adalah istilah yang lebih dikenal dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu pembayaran kepada pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Jika istilah itu hendak dipakai dalam konteks ini, maka menurut kami, penting untuk melihat bagaimana dulu perjanjian ngindung diatur. Jika tak ada ketentuan yang tegas mengatur kewajiban itu, maka tak ada kewajiban Anda untuk membayar. Bahkan menurut Ni’matul Huda, jika pengindung tidak menaati syarat-syarat perjanjian, maka haknya bisa dicabut (2013: 210). Tetapi penting untuk dicatat, bahwa ada kewajiban pengindung untuk menjaga dan memelihara rumah/tanah tersebut selama ditempati. Menjaga dan memelihara itu tentu mengeluarkan biaya. Maka sudah sewajarnya pemilik memberikan uang penggantian yang layak atau semacam kompensasi kepada pengindung (meskipun perhitungannya tidak akan mudah).
 
Jika pemilik hendak menjual tanah/rumah, penting untuk memastikan tanah/rumah tersebut tidak dalam penguasaan orang lain. Kalau masih ada pengindung yang bertahan, Anda akan mengalami kesulitan menjualnya. Dalam tulisan berjudul ‘Aspek Hukum Ngindung’ yang dimuat dalam laman kumham-jogja.infoBH. Andri Ariaji mengatakan memang ada problem sosial dan hukum yang timbul sehubungan dengan status menempati rumah/tanah orang lain yang tak jelas. Apalagi pengindung adalah keturunan ahli waris yang tidak tahu riwayat tanah tersebut.
 
Solusi yang paling tepat menurut kami adalah membicarakan maksud Anda secara baik-baik, melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu, misalnya, kedua belah pihak membuat perjanjian yang tegas-tegas menyebut batas waktu ngindung, serta hak dan kewajiban para pihak. Jika tetap tidak bisa, berdasarkan bukti sertifikat, Anda bisa menempuh upaya hukum pidana atau perdata. Tuduhannya, bisa berupa menempati rumah/tanah tanpa hak. Hak milik atas tanah/rumah, dalam konsepsi hukum perdata, adalah hak yang paling sempurna. Pemilik bisa melakukan tindakan hukum apapun (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan menghancurkan) asalkan tidak melanggar Undang-Undang dan hak orang lain (Subekti, 2001: 69-70).
 
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (lazim dikenal sebagai UUPA).
 
Referensi:
Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (penyunting). Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia. Jakarta: HuMA-Van Vollenhoven Institute – KITLV. Jakarta: 2010.
 
Ni’matul Huda. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Nusa Media, 2013.
 
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. xxix. Jakarta: Intermasa, 2001.
 

Kamis, 18 Juli 2013

Menkumham Ingatkan Panitia Penerimaan CPNS Kemenkumham 2012 Agar Tidak KKN

Jakarta – Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin mengingatkan kepada Panitia Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Tahun 2012 agar berlaku jujur, adil, bertanggung jawab, netral, dan transparan. Pengarahan Menteri tersebut disampaikan di depan seluruh pejabat eselon I, pejabat eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal, dan seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham se-Indonesia di Graha Pengayoman, Rabu (04/07), dalam rangka menyambut pengumuman penerimaan CPNS Kemenkumham pada 9 Juli 2012.
Menteri menyatakan, meski penghentian sementara penerimaan CPNS (moratorium) yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN&RB) sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012, Kemenkumham tetap menerima kebijakan khusus. "Kementerian Hukum dan HAM mendapat formasi dari Kementerian PAN&RB sebanyak 2839. Kebijakan ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana," ujarnya.
Amir Syamsudin menyadari rekrutmen CPNS memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia di Kemenkumham. "Laksanakanlah segala peraturan yang ada terkait dengan pengadaan CPNS dengan baik. Mulai dari seleksi, penyaringan, pengumuman, dan pemberkasan. Hindari perbuatan KKN," tegasnya.
Tahun ini, Kemenkumham mendapatkan jatah 2879 CPNS dari KemenPAN&RB. Sebanyak 79 formasi dibuka untuk unit pusat, sementara 2800 formasi untuk kanwil dan Unit Pelaksana Teknis (UPT). Perekrutan kali ini diawasi pihak ketiga, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW).
Usai pengarahan Menteri, para Kakanwil masih terus mengikuti kegiatan. Di antaranya, Sosialisasi Hasil Kajian Pusjianbang oleh Kepala Pusjianbang, Penjelasan tentang Pemberian Tunjangan Kinerja oleh Kepala Biro Keuangan, Penjelasan tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Kepala Biro Humas dan KLN, dan Penjelasan tentang Penghematan Energi oleh Kepala Biro Umum. (Teks: Laila; Dok.: Tedy, Zaka)

Demi Bona & Hendra, Menyerah Bukan Pilihan

Magrib baru saja merambat menuju isya. Saya masih di kendaraan, meluncur meninggalkan Istana Negara. Malam itu Kamis, 11 Juli 2013, kami baru saja berbuka puasa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hari kedua Ramadan. Tiba-tiba handphonesaya bergetar.

Nama Dirjen Pemasyarakatan muncul di layar. "Pak ada musibah," terdengar suara Pak Mochamad Sueb. "Ada pemberontakan napi di Lapas Tanjung Gusta," suara Pak Sueb bergetar. "Sekitar 150-an orang melarikan diri". Saya berusaha tenang. "Apa penyebabnya?" saya bertanya. "Menurut laporan Kakanwil Sumut, karena listrik mati dari pagi dan berpengaruh dengan pasokan air,"

Dirjenpas menjelaskan. "Apakah ada korban jiwa, lukaluka?" saya mulai khawatir. "Tidak ada, Pak," jawab Dirjenpas. Saya menarik nafas lega. Segera saya perintahkan Pak Sueb bersiapsiap untuk pergi ke Medan, memantau langsung situasi lapangan. Begitu telepon kami selesai, saya segera melaporkan kondisi tersebut kepada Menkumham dan Menko Polhukam, sekaligus meminta arahan dan meminta izin untuk melakukan wawancara dengan rekan-rekan media.

Sepanjang perjalanan dan terus hingga di rumah, sampai jam 1 Jumat dini hari, telepon genggam saya tidak berhenti menerima panggilan. Rekan-rekan dari media cetak maupun elektronik menanyakan kondisi Tanjung Gusta, beberapa bahkan datang ke rumah kontrakan kami. Saya putuskan untuk terus berkoordinasi dengan Kakanwil Sumut dan Dirjenpas sembari memberikan wawancara kepada media massa.

Untuk lebih efisien, agar tidak berulang memberikan pernyataan, saya kirimkan rilis singkat kepada media cetak, menjelaskan langkahlangkah pengamanan yang dilakukan. Termasuk menginformasikan komunikasi telepon saya dengan Kapolri. Setiap kali tersambung baik dengan Kakanwil ataupun Dirjenpas, pertanyaan saya selalu, "Apakah ada korban?" Saya mulai khawatir, terutama setelah melihat pemberitaan dan mengetahui Lapas Tanjung Gusta sudah membara, dibakar di bagian kantornya.

Sepanjang malam itu saya tidak tenang, meskipun terus diinformasikan tidak ada korban jiwa. Kekhawatiran saya terbukti. Jumat setelah imsak, tepat di saat sahur ditutup azan subuh, Dirjenpas mengabarkan, "Pak ada korban jiwa, lima orang meninggal. Dua di antaranya petugas kita." Saya setengah berteriak berulang kali mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".

Sambil bibir terus mengucapkan istigfar. Apa yang saya takutkan terjadi. Korban jiwa jatuh. Segera saja berita duka itu saya kabarkan ke Pak Amir Syamsudin. Kami berdua terpukul. Sedih dan luka mendalam. Pak Amir dan saya di telepon terdiam cukup lama. Kami menahan haru. Jangankan lima nyawa, satu jiwa pun bagi kami sudah terlalu banyak. Subuh itu, saya dengan pak menteri berbagi tugas.

Beliau ditemani Dirjenpas, Sekjen, dan Irjen langsung meninjau lokasi di Medan, sedangkan saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jakarta. Jumat itu Pak Menteri bertemu dengan perwakilan narapidana, sedangkan saya menjelang salat Jumat melakukan rapat koordinasi bersama Menko Polhukam, Kapolri, dan Kepala BNPT. Sejak malam kejadian, isu bahwa PP Nomor 99/2012 yang menjadi penyebab kerusuhan sudah berhembus.

Semakin siang, isu itu semakin kuat. PP itu memang mengetatkan– bukan menghapuskan– pemberian hak-hak remisi, pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana khusus, utamanya korupsi, bandar narkoba, dan teroris. Saya dan Pak Menkumham punya segudang alasan kenapa PP tersebut dikeluarkan. Namun, untuk kali ini, izinkan saya tidak detail membahasnya.

Kolom ini saya dedikasikan bagi para korban yang tewas, termasuk dua petugas kami yang gugur dalam menjalankan tugas. Dua petugas kami yang gugur adalah: Bona Situngkir dan Hendra Naibaho. Bona, 38 tahun, adalah ayah dua orang anak. Sedangkan Hendra, 27 tahun, akan menikah dalam waktu dekat. Bona adalah Kepala Seksi Registrasi, Hendra adalah stafnya. Keduanya terperangkap dalam kobaran api, justru ketika bekerja untuk menyiapkan pemberian remisi Idul Fitri dan 17 Agustus bagi para napi.

Sebagai seksi registrasi mereka telah lembur beberapa hari, dan di hari tragedi jiwanya melayang di tengah tumpukan usulan remisi, di tengah kobaran api. Detik-detik terakhir wafatnya almarhum Bona dan Hendra diceritakan oleh Kepala Pengamanan Tanjung Gusta, Asep Sutandar, dia menulis di antaranya: "Saya merasakan duka yang sangat dalam. Apalagi mengingat dua korban yang sangat dekat dengan saya.

Canda dan tawa di sela-sela situasi yang selalu mencekam tetap menghiasi hari-hari sebelum peristiwa terjadi. Yang lebih menyakitkan pada saat mereka bekerja untuk anak-anak binaannya di saat itu pula harus terbunuh oleh anakanak yang mereka perjuangkan. Yang lebih menyesal lagi, saat mereka merenggang nyawa, dengan suara yang sudah sangat tidak berdaya memanggil nama saya berkali-kali, "Pak Asep minta tolong, saya terkurung."

Sementara saya pun dengan kaki terpincang-pincang setelah melompat tembok 4 meter tidak dapat meraih mereka. Suara api menghilang di telan kobaran api yang mengganas. Allaahu Akbar. Saya pun terduduk lemas. Mengapa kebijakan dalam rangka menciptakan rasa keadilan masyarakat harus ditebus dengan nyawa petugas-petugas terbaik kita."

Saya tercenung, terdiam, menangis membaca tulisan hati Pak Asep. Kebijakan kami untuk menegaskan upaya pemberantasan korupsi, narkoba, dan teroris telah menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban jiwa. Pedih di hati tak terperi. Pak Menteri mengambil langkah cepat, dari Medan Beliau menelepon saya. Menginformasikan hasil dialog dengan para napi, dan keputusan yang telah diambilnya. Beliau meminta dukungan saya untuk PP 99 hanya berlaku bagi napi yang keputusannya telah berkekuatan hukum tetap pasca- 12 November 2012.

Tentu saja bagi kami berdua keputusan itu tidak mudah, tetapi kami menyadari, potensi Tanjung Gusta merembet ke lapas dan rutan lain harus diantisipasi. Maka, menghindari korban jiwa lebih banyak, kami sepakat bagi napi yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum 12 November, syarat-syarat peringanan hukumannya berlaku PP 28 Tahun 2006.

Langkah mengamankan ketertiban itu perlu diambil karena berbagai alasan tantangan nyata di lapangan. Secara nasional, per 12 Juli 2013 jumlah napi dan tahanan adalah 161.917 orang, dari kapasitas seharusnya hanya 107.925. Itu artinya ada over hingga 150%. Dengan kelebihan demikian, jumlah tenaga pengamanan untuk seluruh Indonesia adalah 11.868 orang, yang dibagi dalam empat regu jaga. Itu artinya, dalam setiap regu jaga rasio penjagaan dengan nara pidana adalah satu berbanding 55 orang.

Sudah melampaui batas ideal yang seharusnya adalah satu petugas menjaga maksimal lima orang warga binaan. Dengan situasi demikian, adanya overcrowded tingkat hunian, dan minimnya petugas penjagaan, mau tidak mau kami harus menjadikan potensi gangguan keamanan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan PP 99 Tahun 2012. Maka, pemberlakuan PP 99 pasca-12 November 2012 adalah peluang solusi kami.

Di satu sisi, tidak mencabut PP tersebut, di lain sisi tetap menjawab potensi gangguan keamanan. Kami tegaskan lagi, pasca- 12 November 2012, PP 99 berlaku tanpa terkecuali. Komitmen antikorupsi, antinarkoba –khususnya untuk bandar, dan antiteroris adalah perjuangan yang tidak bisa ditawar lagi. Korban sudah jatuh, kami sangat terluka. Tetapi jiwa yang sudah gugur, darah yang telah terkucur tidak akan kami balas dengan sikap menyerah.

Dalam perjuangan melawan korupsi, narkotika, teroris dan kejahatan luar biasa lainnya, menyerah yang berarti kalah, bukan pilihan. Justru dengan telah gugurnya para korban, termasuk Bona Situngkir dan Hendra Naibaho, kami harus terus maju. Pengorbanan jiwa mereka untuk Indonesia yang lebih bermartabat tidak boleh sia-sia.

Demi Bona dan Hendra, menyerah bukan pilihan, untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antinarkoba, lebih antiteroris. Keepon fighting for the better Indonesia. 
Magrib baru saja merambat menuju isya. Saya masih di kendaraan, meluncur meninggalkan Istana Negara. Malam itu Kamis, 11 Juli 2013, kami baru saja berbuka puasa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hari kedua Ramadan. Tiba-tiba handphonesaya bergetar.

Nama Dirjen Pemasyarakatan muncul di layar. "Pak ada musibah," terdengar suara Pak Mochamad Sueb. "Ada pemberontakan napi di Lapas Tanjung Gusta," suara Pak Sueb bergetar. "Sekitar 150-an orang melarikan diri". Saya berusaha tenang. "Apa penyebabnya?" saya bertanya. "Menurut laporan Kakanwil Sumut, karena listrik mati dari pagi dan berpengaruh dengan pasokan air,"

Dirjenpas menjelaskan. "Apakah ada korban jiwa, lukaluka?" saya mulai khawatir. "Tidak ada, Pak," jawab Dirjenpas. Saya menarik nafas lega. Segera saya perintahkan Pak Sueb bersiapsiap untuk pergi ke Medan, memantau langsung situasi lapangan. Begitu telepon kami selesai, saya segera melaporkan kondisi tersebut kepada Menkumham dan Menko Polhukam, sekaligus meminta arahan dan meminta izin untuk melakukan wawancara dengan rekan-rekan media.

Sepanjang perjalanan dan terus hingga di rumah, sampai jam 1 Jumat dini hari, telepon genggam saya tidak berhenti menerima panggilan. Rekan-rekan dari media cetak maupun elektronik menanyakan kondisi Tanjung Gusta, beberapa bahkan datang ke rumah kontrakan kami. Saya putuskan untuk terus berkoordinasi dengan Kakanwil Sumut dan Dirjenpas sembari memberikan wawancara kepada media massa.

Untuk lebih efisien, agar tidak berulang memberikan pernyataan, saya kirimkan rilis singkat kepada media cetak, menjelaskan langkahlangkah pengamanan yang dilakukan. Termasuk menginformasikan komunikasi telepon saya dengan Kapolri. Setiap kali tersambung baik dengan Kakanwil ataupun Dirjenpas, pertanyaan saya selalu, "Apakah ada korban?" Saya mulai khawatir, terutama setelah melihat pemberitaan dan mengetahui Lapas Tanjung Gusta sudah membara, dibakar di bagian kantornya.

Sepanjang malam itu saya tidak tenang, meskipun terus diinformasikan tidak ada korban jiwa. Kekhawatiran saya terbukti. Jumat setelah imsak, tepat di saat sahur ditutup azan subuh, Dirjenpas mengabarkan, "Pak ada korban jiwa, lima orang meninggal. Dua di antaranya petugas kita." Saya setengah berteriak berulang kali mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".

Sambil bibir terus mengucapkan istigfar. Apa yang saya takutkan terjadi. Korban jiwa jatuh. Segera saja berita duka itu saya kabarkan ke Pak Amir Syamsudin. Kami berdua terpukul. Sedih dan luka mendalam. Pak Amir dan saya di telepon terdiam cukup lama. Kami menahan haru. Jangankan lima nyawa, satu jiwa pun bagi kami sudah terlalu banyak. Subuh itu, saya dengan pak menteri berbagi tugas.

Beliau ditemani Dirjenpas, Sekjen, dan Irjen langsung meninjau lokasi di Medan, sedangkan saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jakarta. Jumat itu Pak Menteri bertemu dengan perwakilan narapidana, sedangkan saya menjelang salat Jumat melakukan rapat koordinasi bersama Menko Polhukam, Kapolri, dan Kepala BNPT. Sejak malam kejadian, isu bahwa PP Nomor 99/2012 yang menjadi penyebab kerusuhan sudah berhembus.

Semakin siang, isu itu semakin kuat. PP itu memang mengetatkan– bukan menghapuskan– pemberian hak-hak remisi, pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana khusus, utamanya korupsi, bandar narkoba, dan teroris. Saya dan Pak Menkumham punya segudang alasan kenapa PP tersebut dikeluarkan. Namun, untuk kali ini, izinkan saya tidak detail membahasnya.

Kolom ini saya dedikasikan bagi para korban yang tewas, termasuk dua petugas kami yang gugur dalam menjalankan tugas. Dua petugas kami yang gugur adalah: Bona Situngkir dan Hendra Naibaho. Bona, 38 tahun, adalah ayah dua orang anak. Sedangkan Hendra, 27 tahun, akan menikah dalam waktu dekat. Bona adalah Kepala Seksi Registrasi, Hendra adalah stafnya. Keduanya terperangkap dalam kobaran api, justru ketika bekerja untuk menyiapkan pemberian remisi Idul Fitri dan 17 Agustus bagi para napi.

Sebagai seksi registrasi mereka telah lembur beberapa hari, dan di hari tragedi jiwanya melayang di tengah tumpukan usulan remisi, di tengah kobaran api. Detik-detik terakhir wafatnya almarhum Bona dan Hendra diceritakan oleh Kepala Pengamanan Tanjung Gusta, Asep Sutandar, dia menulis di antaranya: "Saya merasakan duka yang sangat dalam. Apalagi mengingat dua korban yang sangat dekat dengan saya.

Canda dan tawa di sela-sela situasi yang selalu mencekam tetap menghiasi hari-hari sebelum peristiwa terjadi. Yang lebih menyakitkan pada saat mereka bekerja untuk anak-anak binaannya di saat itu pula harus terbunuh oleh anakanak yang mereka perjuangkan. Yang lebih menyesal lagi, saat mereka merenggang nyawa, dengan suara yang sudah sangat tidak berdaya memanggil nama saya berkali-kali, "Pak Asep minta tolong, saya terkurung."

Sementara saya pun dengan kaki terpincang-pincang setelah melompat tembok 4 meter tidak dapat meraih mereka. Suara api menghilang di telan kobaran api yang mengganas. Allaahu Akbar. Saya pun terduduk lemas. Mengapa kebijakan dalam rangka menciptakan rasa keadilan masyarakat harus ditebus dengan nyawa petugas-petugas terbaik kita."

Saya tercenung, terdiam, menangis membaca tulisan hati Pak Asep. Kebijakan kami untuk menegaskan upaya pemberantasan korupsi, narkoba, dan teroris telah menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban jiwa. Pedih di hati tak terperi. Pak Menteri mengambil langkah cepat, dari Medan Beliau menelepon saya. Menginformasikan hasil dialog dengan para napi, dan keputusan yang telah diambilnya. Beliau meminta dukungan saya untuk PP 99 hanya berlaku bagi napi yang keputusannya telah berkekuatan hukum tetap pasca- 12 November 2012.

Tentu saja bagi kami berdua keputusan itu tidak mudah, tetapi kami menyadari, potensi Tanjung Gusta merembet ke lapas dan rutan lain harus diantisipasi. Maka, menghindari korban jiwa lebih banyak, kami sepakat bagi napi yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum 12 November, syarat-syarat peringanan hukumannya berlaku PP 28 Tahun 2006.

Langkah mengamankan ketertiban itu perlu diambil karena berbagai alasan tantangan nyata di lapangan. Secara nasional, per 12 Juli 2013 jumlah napi dan tahanan adalah 161.917 orang, dari kapasitas seharusnya hanya 107.925. Itu artinya ada over hingga 150%. Dengan kelebihan demikian, jumlah tenaga pengamanan untuk seluruh Indonesia adalah 11.868 orang, yang dibagi dalam empat regu jaga. Itu artinya, dalam setiap regu jaga rasio penjagaan dengan nara pidana adalah satu berbanding 55 orang.

Sudah melampaui batas ideal yang seharusnya adalah satu petugas menjaga maksimal lima orang warga binaan. Dengan situasi demikian, adanya overcrowded tingkat hunian, dan minimnya petugas penjagaan, mau tidak mau kami harus menjadikan potensi gangguan keamanan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan PP 99 Tahun 2012. Maka, pemberlakuan PP 99 pasca-12 November 2012 adalah peluang solusi kami.

Di satu sisi, tidak mencabut PP tersebut, di lain sisi tetap menjawab potensi gangguan keamanan. Kami tegaskan lagi, pasca- 12 November 2012, PP 99 berlaku tanpa terkecuali. Komitmen antikorupsi, antinarkoba –khususnya untuk bandar, dan antiteroris adalah perjuangan yang tidak bisa ditawar lagi. Korban sudah jatuh, kami sangat terluka. Tetapi jiwa yang sudah gugur, darah yang telah terkucur tidak akan kami balas dengan sikap menyerah.

Dalam perjuangan melawan korupsi, narkotika, teroris dan kejahatan luar biasa lainnya, menyerah yang berarti kalah, bukan pilihan. Justru dengan telah gugurnya para korban, termasuk Bona Situngkir dan Hendra Naibaho, kami harus terus maju. Pengorbanan jiwa mereka untuk Indonesia yang lebih bermartabat tidak boleh sia-sia.

Demi Bona dan Hendra, menyerah bukan pilihan, untuk Indonesia yang lebih antikorupsi, lebih antinarkoba, lebih antiteroris. Keepon fighting for the better Indonesia. 

Wamenkumham : Kerusuhan Tanjung Gusta Dipicu Padamnya Listrik

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dalam doorstop di Lobby Kementerian Hukum dan HAM pagi ini (12/07). Wamenkumham menjelaskan sampai tadi malam diinformasikan bahwa kerusuhan di Lapas Klas I Tanjung Gusta Medan dipicu oleh padamnya listrik yang mengakibatkan terganggunya pasokan air.

Ada informasi bahwa kerusuhan di Tanjung Gusta terkait dengan PP 99 tahun 2012 akan tetapi kerusuhan juga pernah terjadi di tahun 1990-an juga terkait dengan pasokan air. "Permasalahan air ini memang terus diupayakan untuk diperbaiki dan kemarin terjadi lagi," jelas Wamenkumham.

Wamenkumham juga menjelaskan bahwa PP 99 menguatkan aturan terkait dengan tidak diberikannya secara mudah kepada koruptor, bandar narkoba, dan teroris. "Bagi narapidana-narapidana korupsi, bandar narkoba, dan teroris, syarat untuk mendapatkan keringanan hukumannnya, seperti remisi atau pembebasan bersyarat, memang lebih ketat dibandingkan pencuri sandal,"  tutur Wamenkumham.

Tak lupa Denny Indrayana menyampaikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Kemenkumham terkait dengan kerusuhan di Tanjung Gusta. Langkah pertama yang diambil adalah mengembalikan kondisi keamanan di lapas. Kemudian pihak Kemenkumham akan bekerjasama dengan polisi dan masyarakat untuk mengembalikan narapidana yang lari. Ketiga, menciptakan suasana yang kondusif. "Baru dari situ ke arah kebijakan-kebijakan yang lain," jelas Denny.

Jumlah napi dan tahanan di Tanjung Gusta sebanyak 2600 orang dan kapasitas lapas hanya sebesar 1057 orang. Over kapasitas tidak hanya terjadi di Medan tapi juga di kota-kota besar di Indonesia. Upaya untuk mengurangi over kapasitas terus dilakukan dan dalam waktu dekat ada crash program untuk mengurangi penghuni lapas di seluruh Indonesia sebanyak 15.000 orang. Tentu ada juga kontribusi daripada tingkat hunian ini," tutup Denny.
(Yusuf & Dedet)

Hukum Humaniter

Hukum Humaniter

I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).
Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan kepada masyarakat umum.
Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat, namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup penerapannya dan sasarannya.
HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan Hukum Humaniter adalah “peraturan permainan” yang harus ditaati oleh para pemain, dalam hal ini para pihak dalam perang.
Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang maupun di masa damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi sosial maupun budaya setiap orang demi tercapainya perkembangan harmonis setiap individu dalam masyarakat. HAM memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat paling penting dimuat pula dalam undang-undang berbagai negara. Adapun yang dimaksu dengan HAM disini adalah perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM yaitu segala peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.
Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita mempertibangkan suatu pertanyaan; “Apakah Hukum Humaniter itu berguna?”. Kalau kita melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata, setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan, pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang menderita kelaparan selama di bawah pendudukan musuh, dan sebagainya.
Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter. Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata. pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa perikemanusiaan sesuai dengan Hukum Humaniter.
Kemudian timbul pertanyaan berikutnya? apakah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor:
1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter, karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan menerapkan peraturan-peraturan Hukum Humaniter dan hadiranya ICRC melaksanakan tugasnya di seluruh dunia.
2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu saat, infomrasi tersebut pasti akan diketahui pula.
3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak langsung pada instansi pemerintah yang bersangkutan supaya pelanggaran dihentikan. Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan Hukum Humaniter.
4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin orang dapat mematuhi hukum, sedangkan peraturannya belum diketahui? Kekurangan pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya. Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang mempunyai hak dapat meminta agar aturan-aturan itu dihormati.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa Hukum Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung pelaksanaan Hukum Humaniter untuk mencegah semaksimal mungkin adanya pelanggaran.
II. Sejarah Singkat Hukum Humaniter Internasional
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino Itali Utara, pasukan Perancis dan Itali sedang sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu pertempuran yang sangat mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di sana dengan harapan dapat bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara kebetulan menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis militer yang sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk dapat merawat korban pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9 jenderal, 1.566 opsir dari segala tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak mendapat pertolongan/pengobatan pada waktu atau kurang perawatan (G.I.A.D Draper, 1958:2). Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengkoordinasikan bantuan untuk mereka.
- See more at: http://hukumdanhamri.blogspot.com/2012/08/hukum-humaniter.html#sthash.StpVUH27.dpuf

Risiko Hukum Kawin Lari

Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Sebelumnya, kami turut berempati dengan permasalahan yang Anda hadapi.
 
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, maka kita mengacu pada syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yang berbunyi:
 
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, makaizin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
 
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa bagi seseorang yang belum berusia 21 tahun, maka perkawinan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Anda mengatakan bahwa saat ini Anda berusia 20 tahun sehingga Anda memang masih perlu mendapatkan izin dari kedua orang tua Anda. Namun, apabila kedua orang tua Anda tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali.
 
Jika memang Anda dan pacar Anda ingin menikah, maka kami menyarankan agar Anda menunggu hingga Anda berusia 21 tahun karena batas usia bagi seseorang dapat menikah meski tanpa restu orang tua adalah saat ia belum berusia 21 tahun. Akan tetapi, kami tetap menyarankan sebaiknya Anda bicarakan hal ini baik-baik secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang Tua?
 
Namun, apabila Anda ingin segera menikah tanpa ingin menunggu hingga Anda berusia 21 tahun, maka mengacu pada Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) UU Perkawinan, jika ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan wali, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang tua atau wali dari orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi, Anda dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan setempat agar memberikan izin menikah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) UU Perkawinan. Nantinya, pengadilan akan mengeluarkan sebuah penetapan izin menikah.
 
Contoh kasus yang mana pengadilan memberikan penetapan izin untuk menikah kepada seseorang yang belum berusia 21 tahun dapat kita lihat dari Putusan Pengadilan Agama Kota Tual Provinsi Maluku No. 03/Pdt.P/2010/PA TI. Dari putusan tersebut diketahui bahwa Pengadilan Agama Tual memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Izin Kawin yang diajukan oleh seorang pemohon (wanita berumur 20 tahun). Oleh karena pemohon belum mencapai umur 21 tahun, maka pemohon mengajukan izin kawin. Calon suami pemohon sudah pernah menyampaikan maksudnya kepada ayah pemohon untuk meminang pemohon, dan orang tua pemohon menerima pinangan tersebut, akan tetapi berselang 1 minggu kemudian ayah pemohon tidak mau lagi dengan laki-laki (calon suami) pemohon tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pemohon sampaikan lagi ke ayah pemohon bahwa pemohon tetap ingin menikah dengan laki-laki tersebut akan tetapi ayah pemohon tidak akan memberikan walinya kepada Pemohon, karena sudah beberapa tahun ini ayah dan ibu pemohon telah berpisah tempat tinggal walaupun masih berstatus suami istri. Di sisi lain, pemohon dengan calon suami pemohon sudah bertekad untuk menikah karena sudah saling mencintai dan berniat untuk membentuk rumah tangga serta tidak mungkin untuk dipisahkan.
 
Dengan tidak diperolehnya izin dari orang tua, tidak diberikan wali oleh ayah Pemohon, dan telah mendengar keterangan orang tua dan wali Pemohon di persidangan, maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut hakim Pengadilan Agama Tual akhirnya mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan penetapan berupa izin kepada pemohon untuk menikah dengan calon suami pemohon. Selain itu, pengadilan tersebut juga menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Dullah Utara sebagai Wali Hakim dalam perkawinan pemohon dengan calon suami pemohon.
 
Mengenai ketakutan Anda jika orang tua Anda melaporkan pacar Anda ke polisi atas tuduhan “dibawa kabur”, pengaturan dalam KUHP mengenai hal tersebut dikenal sebagai perbuatan membawa pergi seorang wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini diatur dalam Pasal 332 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang, yang berbunyi:
 
(1)          Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1.    paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2.    paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
(2)          Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3)          Pengaduan dilakukan:
a.    jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin;
b.    jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4)          Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikelSalahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
 
Demikian jawaban dari kami, kami berharap Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pergi bersama pacar Anda tanpa restu dari orang tua (kawin lari) mungkin bukan jalan yang terbaik. Ada baiknya Anda juga membicarakan masalah ini dengan anggota keluarga lain untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
 
Dasar hukum:
 
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Sebelumnya, kami turut berempati dengan permasalahan yang Anda hadapi.
 
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda, maka kita mengacu pada syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yang berbunyi:
 
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, makaizin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
 
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa bagi seseorang yang belum berusia 21 tahun, maka perkawinan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Anda mengatakan bahwa saat ini Anda berusia 20 tahun sehingga Anda memang masih perlu mendapatkan izin dari kedua orang tua Anda. Namun, apabila kedua orang tua Anda tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari wali.
 
Jika memang Anda dan pacar Anda ingin menikah, maka kami menyarankan agar Anda menunggu hingga Anda berusia 21 tahun karena batas usia bagi seseorang dapat menikah meski tanpa restu orang tua adalah saat ia belum berusia 21 tahun. Akan tetapi, kami tetap menyarankan sebaiknya Anda bicarakan hal ini baik-baik secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang Tua?
 
Namun, apabila Anda ingin segera menikah tanpa ingin menunggu hingga Anda berusia 21 tahun, maka mengacu pada Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) UU Perkawinan, jika ada perbedaan pendapat antara orang tua dengan wali, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang tua atau wali dari orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi, Anda dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan setempat agar memberikan izin menikah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) UU Perkawinan. Nantinya, pengadilan akan mengeluarkan sebuah penetapan izin menikah.
 
Contoh kasus yang mana pengadilan memberikan penetapan izin untuk menikah kepada seseorang yang belum berusia 21 tahun dapat kita lihat dari Putusan Pengadilan Agama Kota Tual Provinsi Maluku No. 03/Pdt.P/2010/PA TI. Dari putusan tersebut diketahui bahwa Pengadilan Agama Tual memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Izin Kawin yang diajukan oleh seorang pemohon (wanita berumur 20 tahun). Oleh karena pemohon belum mencapai umur 21 tahun, maka pemohon mengajukan izin kawin. Calon suami pemohon sudah pernah menyampaikan maksudnya kepada ayah pemohon untuk meminang pemohon, dan orang tua pemohon menerima pinangan tersebut, akan tetapi berselang 1 minggu kemudian ayah pemohon tidak mau lagi dengan laki-laki (calon suami) pemohon tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pemohon sampaikan lagi ke ayah pemohon bahwa pemohon tetap ingin menikah dengan laki-laki tersebut akan tetapi ayah pemohon tidak akan memberikan walinya kepada Pemohon, karena sudah beberapa tahun ini ayah dan ibu pemohon telah berpisah tempat tinggal walaupun masih berstatus suami istri. Di sisi lain, pemohon dengan calon suami pemohon sudah bertekad untuk menikah karena sudah saling mencintai dan berniat untuk membentuk rumah tangga serta tidak mungkin untuk dipisahkan.
 
Dengan tidak diperolehnya izin dari orang tua, tidak diberikan wali oleh ayah Pemohon, dan telah mendengar keterangan orang tua dan wali Pemohon di persidangan, maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut hakim Pengadilan Agama Tual akhirnya mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan penetapan berupa izin kepada pemohon untuk menikah dengan calon suami pemohon. Selain itu, pengadilan tersebut juga menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Dullah Utara sebagai Wali Hakim dalam perkawinan pemohon dengan calon suami pemohon.
 
Mengenai ketakutan Anda jika orang tua Anda melaporkan pacar Anda ke polisi atas tuduhan “dibawa kabur”, pengaturan dalam KUHP mengenai hal tersebut dikenal sebagai perbuatan membawa pergi seorang wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini diatur dalam Pasal 332 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang, yang berbunyi:
 
(1)          Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara:
1.    paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2.    paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
(2)          Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
(3)          Pengaduan dilakukan:
a.    jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin;
b.    jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
(4)          Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikelSalahkah Mengajak Jalan Pacar Tanpa Sepengetahuan Orang Tuanya?
 
Demikian jawaban dari kami, kami berharap Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orang tua Anda. Bagaimanapun juga, menurut hemat kami, pergi bersama pacar Anda tanpa restu dari orang tua (kawin lari) mungkin bukan jalan yang terbaik. Ada baiknya Anda juga membicarakan masalah ini dengan anggota keluarga lain untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
 
Dasar hukum: