Rabu, 24 April 2013

Petualangan Korupsi Djoko Susilo


Selain mendakwa dengan pencucian uang, penuntut umum pada KPK juga mendakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo melakukan korupsi. Namun, tindak pidana korupsi yang didakwakan hanya pada pengadaan driving simulator roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011. Uraian dakwaan dugaan korupsi dibacakan lebih dulu oleh tim penuntut umum sebelum dakwaan pencucian uang.
Korupsi itu dilakukan bersama-sama Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Budi Susanto, dan Sukotjo S Bambang sekitar tahun 2010- 2011. Selain menjabat Kakorlantas, terdakwa juga menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pengadaan driving simulator.
Berawal dari pertemuan Budi dan Sukotjo di TIS sekitar Agustus 2010, membicarakan proyek simulator R2 di Korlantas sebanyak 1.000 unit. Sukotjo menyatakan perusahannya, PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) tidak sanggup mengerjakan pekerjaan tersebut. “Budi menyanggupi penyediaan dana, dan Bambang hanya perlu menyediakan pegawai dan tempat,” kata ketua tim penuntut umum KMS Roni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (23/4).
Pertemuan lalu berpindah ke ruang kerja Teddy di Korlantas. Dalam kesempatan itu, Sukotjo menyatakan bersedia membantu Budi dalam pekerjaan proyek simulator. Namun, karena PNBP Korlantas tidak memenuhi target, rencana pekerjaan pengadaan driving simulator uji klinik pengemudi R2 sebanyak 1.000 unit, tidak jadi terlaksana. Hanya tersedia 100 unit untuk R2 dan 50 unit untuk R4.
Sekitar Oktober 2010, Budi memerintahkan Sukotjo menemui bagian keuangan Mabes Polri Darsian. Sukotjo meminta informasi jumlah alokasi dana proyek simulator. Tak hanya meminta, Sukotjo memberikan Rp50 juta kepada Darsian dan Rp15 juta kepada stafnya. Setelah itu, entah bagaimana Djoko memerintahkan Kasubag dan para Kasubdit Renmin menyusun Pagu Anggaran Definitif Korlantas tahun 2011.
Diantaranya, Sukotjo membantu menyusun anggaran pengadaan driving simulator. Tertulis harga alat itu mengacu pada Pagu Anggaran 2010. Satu unit untuk R2 dibuat Rp80 juta per unit, sedangkan R4 dibuat Rp260 juta per unit. Penghitungan harga dipaparkan kembali dalam rapat, sehingga rencana kebutuhan untuk R2 700 unit dan untuk R4 556 unit disetujui dan disahkan Djoko dalam bentuk RKAKL.
Dokumen RKAKL dikirimkan ke Asisten Perencanaan dan Anggaran Polri untuk diteruskan ke Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu guna mendapat pengesahan. Dalam rangka menyiapkan dana, sekitar November 2010, Budi mengajukan kredit modal kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar atas nama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) dengan menjaminkan Surat Perintah Kerja pengadaan simulator ke PT BNI Tbk.
Namun, BNI hanya menyetujui Rp100 miliar. Setelah dana KMK cair, Budi mentransfer Rp35 miliar ke rekening PT ITI. Hanya sekejap, Budi lalu memerintahkan Sukotjo mentransfer kembali Rp8 miliar dan Rp7 miliar ke rekening Primkoppol Ditlantas Mabes Polri, serta mengeluarkan dana Rp4 miliar untuk Budi dan Djoko. Dana Rp2 miliar dibawa sendiri Sukotjo ke kantor Djoko.
Setelah Pagu Anggaran ditetapkan dalam APBN tahun 2011, proyek simulator mulai dilaksanakan. Perbuatan Djoko yang memberikan rekomendasi kepada BNI atas KMK PT CMMA dianggap penuntut umum bertentangan dengan Pasal 5 huruf f dan Pasal 6 huruf c Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Untuk melaksanakan proyek simulator, Korlantas membentuk Panitia Pengadaan yang diketuai Teddy. Sebelum lelang, Djoko memanggil Teddy dan menyampaikan proyek simulator dikerjakan Budi. Pernyataan Djoko diteruskan pada Kabag Renmin Budi Setyadi.
Kabag Renmin memperingatkan, barang perusahaan Budi tidak bagus dan dia meminta drivingsimulator mengacu pada spesifikasi yang ada di Singapura. Permintaan itu disetujui, kemudian ada tim yang melakukan studi banding ke Singapura. Tapi, dari hasil kunjungan itu, Teddy melaporkan kepada Djoko anggaran yang tersedia tidak cukup untuk membeli driving simulator seperti yang dimiliki Singapura. Djoko lalu memerintahkan spesifikasi teknis driving simulator tahun 2011 disamakan dengan pengadaan tahun 2010. Teddy menindaklanjutinya dengan mengadakan pembahasan spesifikasi bersama Sukotjo dan teknisi PT ITI.
Djoko bersama-sama Budi melanjutkan kesepakatan mengenai penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Agar tidak menimbulkan kecurigaan, HPS untuk R2 ditentukan Rp79,930 juta per unit, sedangkan HPS untuk R4 Rp258,917 juta per unit. Tindakan Djoko dan Budi menurut penuntut umum sama dengan penggelembungan harga. Salah satunya dengan menaikan harga satuan komponen dari harga sebenarnya.
Agar PT CMMA menjadi pemenang lelang pengadaan driving simulator, sekitar Januari 2011, Budi atas sepengetahuan Teddy memerintahkan Sukotjo menyiapkan beberapa perusahaan untuk menjadi peserta pendamping. Mereka meminjam bendera perusahaan, seperti PT Bentina Agung, PT Digo Mitra Slogan, PT Kolam Intan Prima, dan PT Pharma Kasih Sentosa.
Saat evaluasi administrasi, sejumlah perusahaan itu sengaja tidak memberikan dokumen dan spesifikasi yang lengkap. Maka PT CMMA memenangkan lelang. Sekitar Maret 2011, Teddy dipanggil Djoko untuk membahas perintah Kapolri mengenai pembentukan tim sepak bola PS Bhayangkara. Djoko menanyakan mengenai dana yang dapat dicairkan dalam waktu dekat dan Teddy menjawab dana simulator.
Selain itu, Budi meminta kepada Sukotjo uang Rp1,5 miliar untuk Tim Itwasum Mabes Polri guna memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana pekerjaan simulator. Atas dasar rekomendasi Tim Itwasum, Kapolri selaku Pengguna Anggaran mengeluarkan Surat Keputusan yang menetapkan PT CMMA sebagai pemenang lelang, dimana kemudian ditandatangani Teddy selaku ketua panitia pengadaan.
Setelah pencairan anggaran pengadaan, Budi menyambangi Djoko di ruang kerjanya. Setelah menerima Budi, Djoko meminta stafnya, Legimo supaya tetap di kantor karena akan ada titipan dari Budi. Sore harinya, staf Budi, Wahyudi datang ke kantor Korlantas menitipkan sejumlah kardus berisi uang Rp30 miliar kepada Legimo untuk diberikan kepada Djoko. Uang itu diduga sebagai fee atas pemenangan PT CMMA sebagai pemenang lelang.
Jaksa Roni menuturkan, perbuatan Djoko telah merugikan keuangan negara sekitar Rp144,984 miliar. Sebagian diantaranya, dinikmati Djoko (Rp32 miliar), Didik Purnomo (Rp50 juta), Budi Susanto (Rp93,381 miliar), Sukotjo S Bambang (Rp3,933 miliar), Primkoppol (Rp15 miliar), Wahyu Indra P (Rp500 juta), Gusti Ketut Gunawa (Rp50 juta), Darsian (Rp50 juta), dan Warsono Sugantoro (Rp20 juta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar