Jumat, 05 April 2013

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/PMK.06/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA


http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2009/88%7EPMK.06%7E2009Per_files/image002.jpg
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 88/PMK.06/2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang
:
a.
Bahwa dalam rangka optimalisasi pengurusan Piutang Negara, perlu melakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;


b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);


2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);


3.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3437);


4.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);


5.
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 4652);


6.
Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara;


7.


8.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.06/2007 tentang Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara;


9.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara


10.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.01/2008;


11.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;


MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.

Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, diubah sebagai berikut :


1.
Ketentuan Pasa! 1 diubah sehingga keseluruhan Pasal 1 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1



Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :



1.
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.



2.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.



3.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.



4.
Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.



5.
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal.



6.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal.



7.
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada Direktorat Jenderal.



8.
Chanelling adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.



9.
Risk sharing adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah dan perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan berbagi risiko kerugian apabila terjadi
kemacetan.



10.
Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara, yang untuk selanjutnya disingkat BUMN, atau Badan Usaha Milik Daerah, yang untuk selanjutnya disingkat BUMD, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.



11.
Penanggung Hutang adalah badan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang.



12.
Penjamin Hutang adalah badan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.



13.
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.



14.
Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.



15.
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.



16.
Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia.



17.
Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.



18.
Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan.



19.
Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.



20.
Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang.



21.
Penilai Internal adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian.



22.
Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.



23.
Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.



24.
Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam lelang.



25.
Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/ fidusia.



26.
Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



27.
Penjualan tanpa melalui lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dengan persetujuan Panitia Urusan Piutang Negara Cabang.



28.
Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan.



29.
Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.



30.
Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan.



31.
Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus bertanggung jawab.



32.
Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan.


2.
Ketentuan Pasal 3 ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 3 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3



(1)
Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.



(2)
Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal dari Komisi Negara/Lembaga Tinggi Negara, Badan Hukum Milik Negara, dan Badan Layanan Umum.



(3)
BUMN/BUMD sektor perbankan dan nonperbankan atau badan-badan usaha yang sebagian besar modalnya dimiliki BUMN/BUMD menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Cabang dalam hal dana yang disalurkan berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing.


3.
Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3A



BUMN/BUMD sektor nonperbankan dapat menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Cabang.


4.
Ketentuan Pasal 24 huruf c diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 24



Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara dalam hal :



a.
kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara;



b.
Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau



c.
Penyerah Piutang bukan berasal dari instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dan bukan berasal dari badan-badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3A.


5.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf c sehingga keseluruhan Pasal 26 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 26



(1)
Koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat :




a.
pembayaran yang tidak tercatat;




b.
kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang; dan/atau




c.
sebab lain yang sah.



(2)
Koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).


6.
Ketentuan Pasal 102 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 102 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 102



(1)
Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu :




a.
orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;




b.
badan hukum, yang diwakili oleh :





1.
direksij pengurus perusahaan/koperasi; dan/atau





2.
anggota dewan komisaris/dewan pengawas perusahaan/koperasi; atau




c.
salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata. 



(2)
Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu :




a.
penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee);




b.
penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau




c.
pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).



(3)
Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a yaitu pemegang saham yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dapat diminta tanggung jawab pribadi.


7.
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 106 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (la) sehingga keseluruhan Pasal 106 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 106



(1)
Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari Kantor Pelayanan.



(1a)
Dalam hal pada Kantor Pelayanan belum terdapat Pemeriksa, Kepala Kantor Pelayanan menunjuk Pegawai yang dianggap cakap untuk melaksanakan Pemeriksaan.



(2)
Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang.


8.
Ketentuan Pasal 120 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 120 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 120



Objek Pencegahan adalah :



a.
Penanggung Hutang yang terdiri dari :




1.
orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;




2.
pengurus badan hukum termasuk yayasan yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh :





1)
direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi; dan/atau





2)
anggota dewan komisaris/dewan pengawas;




3.
salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata;



b.
Penjamin Hutang, terdiri dari:




1.
penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarentee);




2.
penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau




3.
pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikat diri sebagai penjamin (corporate guarentee);



c.
pemegang saham, dalam hal :




1.
secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;




2.
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau




3.
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan; dan/atau



d.
ahli waris yang telah menerima warisan dari Penanggung Hutang.


9.
Ketentuan Pasal 122 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 122 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 122



(1)
Pencegahan hanya dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan.



(2)
Pencegahan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.


10.
Ketentuan Pasal 132 huruf a diubah, sehingga keseluruhan Pasal 132 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 132



Pencabutan Pencegahan atau masa Pencegahan tidak diperpanjang dapat dilakukan dalam hal :



a.
terdapat perubahan susunan kepengurusan perusahaan secara sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;



b.
objek Pencegahan telah menunjukkan itikad baik dengan :




1.
melakukan pembayaran ke arah pelunasan; dan




2.
mengajukan rencana penyelesaian hutangnya secara jelas.


11.
Ketentuan Pasal 157 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 157 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 157



Dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dinyatakan pailit, proses pengurusan Piutang Negara dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Kepailitan.


12.
Ketentuan Pasal 187 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 187 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 187



(1)
Surat Perintah Paksa Badan diterbitkan dalam hal :




a.
Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa;




b.
sisa hutang Penanggung Hutang paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);




c.
Barang Jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang;




d.
Penanggung Hutang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutang tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan; dan




e.
objek Paksa Badan belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.



(2)
Dalam hal informasi mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau huruf e tidak ada atau tidak mencukupi, dapat dilakukan Pemeriksaan.


13.
Ketentuan Pasal 198 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 198 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 198



(1)
Paksa Badan dilaksanakan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dalam hal :




a.
Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya; dan




b.
objek Paksa Badan belum berumur 80 (delapan puluh) tahun.



(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Paksa Badan dapat dilaksanakan sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari namun telah lewat waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan, dalam hal terdapat izin tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat dengan alasan untuk kepentingan umum.


14.
Ketentuan Pasal 206 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 206 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 206



(1)
Biaya pelaksanaan Paksa Badan termasuk biaya keperluan hidup objek Paksa Badan di tempat Paksa Badan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.



(2)
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat Jenderal, untuk selanjutnya menjadi penambah jumlah hutang Penanggung Hutang.



(3)
Penambahan jumlah hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke Kas Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.


15.
Ketentuan Pasal 208 ayat (1) ditambahkan 1 (satu) huruf yaitu huruf f, sehingga keseluruhan Pasal 206 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 208



(1)
Objek Paksa Badan yang sedang menjalankan Paksa Badan dapat diizinkan keluar dari Tempat Paksa Badan dalam hal objek Paksa Badan akan :




a.
melaksanakan ibadah di tempat ibadah;




b.
menghadiri sidang di pengadilan;




c.
mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum;




d.
menjalani pemeriksaan kesehatan atau pengobatan di rumah sakit;




e.
menghadiri pemakaman orangtua, suami/isteri, dan/atau anak; atau




f.
menjadi wali nikah.



(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas permohonan objek Paksa Badan.


16.
Ketentuan Pasal 211 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 211 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 211



Jangka waktu izin keluar dari Tempat Paksa Badan ditetapkan paling lama 2 x 24 (dua puluh empat) jam, kecuali untuk izin menjalani pengobatan secara rawat inap.


17.
Ketentuan Pasal 221 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 221 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 221



(1)
Objek Paksa Badan harus dibebaskan dalam hal :




a.
piutang Negara dinyatakan lunas;




b.
pengurusan Piutang Negara ditarik oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;




c.
objek Paksa Badan telah berumur 80 (delapan puluh) tahun;




d.
objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum; atau




e.
jangka waktu Paksa Badan berakhir.



(2)
Objek Paksa Badan dapat dibebaskan dalam hal :




a.
terdapat pembayaran hutang paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari sisa hutang; atau




b.
terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi demi kepentingan umum.



(3)
Dalam hal Penanggung Hutang tidak menyelesaikan kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam waktu yang ditentukan, objek Paksa Badan dapat dikenakan Paksa Badan kembali untuk sisa waktu pelaksanaan Paksa Badan yang belum dijalani.


18.
Ketentuan Pasal 241 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 241 menjadi berbunyi sebagai berikut : 

Pasal 241



(1)
Nilai Limit untuk Lelang kedua dan berikutnya ditetapkan :




a.
paling rendah sama dengan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 dan nilai penawaran tertinggi pada pelaksanaan lelang sebelumnya;




b.
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240, dalam hal pada pelaksanaan lelang sebelumnya tidak terdapat penawaran.



(2)
Penawaran tertinggi yang terjadi pada lelang sebelumnya tidak dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan Nilai Limit dalam hal penawaran dilakukan oleh pemenang lelang yang wanprestasi.


19.
Ketentuan Pasal 259 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga keseluruhan Pasal 259 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 259



(1)
Persetujuan penjualan tanpa melalui lelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan :




a.
berpedoman pada Laporan Penilaian yang masih berlaku; dan




b.
nilai persetujuan paling sedikit sama dengan Nilai Pasar.



(2)
Persetujuan penjualan tanpa melalui lelang atas saham/obligasi yang diperjualbelikan di bursa efek dapat dilakukan tanpa berpedoman pada Laporan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.



(3)
Ketentuan mengenai persetujuan penjualan tanpa melalui lelang atas saham/obligasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.



(4)
Dikecualikan dari ketentuan dalam Pasal 229 dan Pasal 259 ayat (1), persetujuan penjualan tanpa melalui lelang dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat disetujui tanpa dilakukan Penilaian lebih dulu; dalam hal :




a.
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan




b.
nilai persetujuan tidak lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).


20.
Ketentuan Pasal 272 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 272 menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 272



(1)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271, permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia, dapat disetujui dengan ketentuan :




a.
Nilai Pasar barang yang akan ditebus berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia;




b.
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan; dan




c.
mendapat persetujuan Penanggung Hutang.



(2)
Dikecualikan dari ketentuan Pasal 229 dan Pasal 272 ayat (1), Penebusan dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat disetujui tanpa dilakukan Penilaian lebih dulu, dalam hal :




a.
Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan;




b.
mendapat persetujuan Penanggung Hutang; dan




c.
nilai persetujuan tidak lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Pasal II


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.







Ditetapkan di Jakarta







Pada tanggal 30 April 2009







MENTERI KEUANGAN,























SRI MULYANI INDRAWATI










Diundangkan di Jakarta



Pada tanggal 30 April 2009



MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,











ANDI MATTALATTA







BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 86



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar