Rabu, 24 April 2013

OJK Perlu Miliki Multi Investigator


Salah satu kewenangan yang ada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah melakukan penyidikan. Namun, penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bekerja untuk OJK dikhawatirkan mempengaruhi independensi lembaga tersebut. Hal ini disampaikan Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Bismar Nasution, dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (23/4).
Menurutnya, independensi menjadi penting agar dalam melaksanakan fungsi penyidikan OJK tak memihak pihak tertentu. "Soal penyidik, suatu hal yang tragis. Ketentuan yang tidak political will untuk dukung OJK. Karena penyidik OJK berasal dari penyidik polisi dan PPNS. Padahal OJK independen, karena pimpinan OJK tidak bisa diberhentikan oleh siapapun, kecuali meninggal dunia," kata Bismar.
Selain itu, perlunya standar kelayakan pengetahuan bagi penyidik yang bekerja di OJK. Menurutnya, standar ini penting lantaran penyidikan dalam kejahatan ekonomi khusus seperti perbankan atau perusahaan non bank berbeda dengan kejahatan umum lainnya. Biasanya, penyidikan di sektor keuangan membutuhkan kecepatan dan ketepatan penanganan.

Bila kecepatan dan ketepatan penanganan tak berjalan lancar, kata Bismar, berdampak pada perusahaan yang tengah disidik. "Misal perusahaan publik tertentu diduga terlibat permainan pasar, jika itu diberitakan bisa-bisa harga saham perusahaan tersebut akan hancur dan akibatnya harga saham di IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) akan anjlok," tambahnya.
Sejalan dengan itu, OJK harus membuat standar kerjasama yang jelas dalam melaksanakan fungsi penyidikan. Misalnya dengan membentuk struktur organisasi penyidik di OJK. Tujuannya agar penyidik Polri maupun PPNS yang bekerja di OJK harus tunduk dan patuh terhadap perintah yang diberikan oleh Dewan Komisoner OJK. Dengan begitu, fungsi kontrol pimpinan OJK kepada penyidik bisa berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, Bismar menyarankan perlunya penyidik dari internal OJK. Klausul ini bisa dilakukan sejalan dengan revisi KUHAP yang tengah dilakukan DPR dan pemerintah. Menurutnya, untuk pasal mengenai penyidik di KUHAP perlu ditambahkan satu klausul lagi. Bahwa, penyidik adalah penyidik Polri, PPNS dan pegawai yang ada pada lembaga pemerintah yang melaksanakan kewenangan dan fungsi negara.
"Jadi tidak hanya PPNS dan polisi penyidik dalam RKUHAP. Ini disebut dengan multi investigator system, seperti yang diterapkan di negara lain. Jadi ada persaingan sehat antar penyidik," tutur Bismar.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan, jika penyidik yang bekerja di OJK hanya berasal dari penyidik Polri dan PPNS maka diperlukan dua kewenangan yang terpisah. Kewenangan penyidikan dipegang oleh penyidik Polri dan PPNS, sedangkan kewenangan intelijen bisa dilakukan oleh pegawai OJK.
“Terpilah, kewenangan penyidikan dan kewenangan intelijen," katanya.
Menurut Harry, kewenangan intelijen ini memiliki peran yang tak kalah penting dari penyidikan. Dengan adanya fungsi ini, OJK bisa memetakan wilayah industri mana yang berpotensi terjadi default. Jika sudah dipetakan, potensi terjadinya default bisa dieliminir.
"OJK harus punya mapping wilayah-wilayah industri yang jadi deafult, tidak seperti kasus investasi emas sekarang," ujar politisi dari Partai Golkar ini.
Sejalan dengan itu, OJK harus membuat aturan bahwa penyidik Polri dan PPNS yang dipekerjakan di OJK tak bisa ditarik institusi asalnya sebelum waktu yang ditentukan. Menurutnya, aturan ini penting agar kasus seperti yang terjadi di KPK tak terulang lagi. "Polisi tidak bisa seenaknya menarik penyidiknya yang bertugas di OJK," kata Harry.
Klausul ini dilontarkan Harry apabila penyidik yang diakui adalah penyidik Polri dan PPNS seperti yang disebutkan dalam KUHAP. Tapi, bila dalam revisi KUHAP diperbolehkan adanya penyidik dari lembaga itu sendiri, Harry pun menyetujuinya.
"Jika penyidik-penyidik di tempat tertentu dia bisa, UU KUHAP itu diubah," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar