Jumat, 05 April 2013

Masyarakat hukum dan kekuasaan


Masyarakat, hukum dan kekuasaan
 
(Mengenang setahun Tibo, Marinus dan Dominggus)
 
Oleh Simon Tukan 
 
FABIANUS Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva adalah tiga nama yang telah banyak mengisi halaman-halaman penegakan hukum di Indonesia. Mereka didakwa sebagai dalang kerusuhan Poso dan pembunuh banyak orang di Poso serta divonis dengan hukuman mati oleh semua tingkat pengadilan di Indonesia. Vonis tersebut menuai protes banyak kalangan baik di dalam maupun di luar negeri sampai Kejaksaan Agung mengeksekusi hukuman tersebut setahun yang lalu, tepatnya pada 22 September 2006. 
 
Kematian mereka patut dikenang. Sebab peristiwa yang menimpa mereka telah menorehkan kekelaman baru dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Tulisan ini mau merefleksikan hubungan antara masyarakat, hukum dan kekuasaan dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Pertanyaan pokok di sini adalah bagaimana hubungan antara masyarakat, hukum dan kekuasaan? Bagaimana penerapannya dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penyelesaian kasus kerusuhan Poso.
 
Hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh manusia yang saling 
berhubungan dalam suatu masyarakat untuk mengatur tingkah laku manusia dan melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat agar anggota-anggota masyarakat tidak saling merugikan. Pelaksanaan fungsi hukum tersebut bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Di Indonesia hukum dibuat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, encerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan 
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi hukum sesungguhnya dibuat oleh manusia untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum.
 
Agar supaya hukum bisa mencapai tujuannya diperlukan kekuasaan untuk menerapkan hukum dalam masyarakat. Kekuasaan diperlukan untuk memaksakan penerapan hukum melalui pemberian sanksi kepada para pelanggar hukum. Kekuasaan memberikan kekuatan kepada hukum untuk melaksanakan fungsinya.Tanpa kekuasaan, hukum hanya tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka. Dalam masyarakat yang kompleks (modern), hukum dibuat oleh kekuasaan yang sah. Karena itu hukum pada 
hakekatnya adalah kekuasaan itu sendiri.
 
Hukum sebagai kekuasaan berfungsi mengatur tingkah laku manusia, mengusahakan ketertiban dan membatasi ruang gerak setiap individu. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan yang bersumber pada hukum dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang yang diberi hak oleh masyarakat. Hak untuk berkuasa tersebut dibatasi oleh sejumlah kewajiban sehingga kekuasaan itu bersifat terbatas, tidak mutlak. 
Kekuasaan dalam pengertian ini digunakan untuk menegakan hukum, melaksanakan fungsi hukum, agar hukum mencapai tujuannya. Kekuasaan digunakan untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan kepentingan-kepentingannya.
 
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, maka para pemegang kekuasaan harus memberikan perlindungan kepada warga masyarakat yang telah memberi mereka kekuasaan untuk menegakkan hukum. Jika ada warga negara yang melanggar hukum maka, hukuman yang diberikan kepadanya harus didasarkan pada asas persamaan di depan hukum dan oleh pengadilan yang bebas dari segala pengaruh kepentingan apa pun. Kekuasaan harus tunduk kepada pengaturan hukum yang mendasarinya. Hanya kekuasaan yang tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum dapat menjamin dan melindungi setiap warga negara.
 
Dalam kasus yang menimpa Fabianus Tibo dkk, kekuasaan hukum tersebut disalahgunakan. Hukum tidak menjadi dasar bagi penyelesaian kasus kekerasan di Poso dan pemulihan keamanannya. Para penegak hukum, yaitu polisi, hakim, jaksa yang didukung oleh advokat (pengacara) tidak bekerja berdasarkan hukum yang berlaku. Ketaatan hukum dalam penyelesaian kasus Poso, hanya pro forma. Tibo dkk adalah korban dari ketidakmampuan para penegak hukum untuk bekerja menurut hukum yang benar dan independen. 
 
Hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan sesaat baik ekonomi maupun politik dari seseorang atau pun sekelompok orang dalam masyarakat. 
Dengan kata lain, dalam penyelesaian kasus Poso yang berlaku adalah hukum kekuasaan. Artinya, kekuasaanlah yang menentukan keputusan-keputusan pengadilan, sehingga betapapun Tibo dkk belum terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pelaku kerusuhan Poso yang membunuh banyak orang, mereka tetap dihukum mati. Mereka dibunuh untuk memenuhi kehendak kekuasaan tanpa ada perlindungan sedikitpun.
 
Hukum kekuasaan menempatkan hukum hanya untuk yang berkuasa. Hukum disalahgunakan dan dipakai semata-mata untuk menegakkan kepentingan pihak yang berkuasa. Dalam peristiwa Tibo dkk, segala prosedur hukum yang ditempuh selama proses peradilan mengikuti kehendak para penguasa. Dengan demikian, dalam proses peradilan Tibo dkk, hukum sama sekali tidak berkuasa, bukanhukum yang mengatur, tetapi hukum kekuasaan yang sewenang-sewenang. 
 
Kesewenang-wenangan itu terlihat ketika hakim tidak menggunakan keterangan terdakwa di persidangan sebagai bahan pertimbangan, tetapi keterangan terdakwa di hadapan penyidik. Hal ini bertentangan dengan Pasal 189 KUHP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah keterangan yang dinyatakan dalam persidangan. 
Hanya keterangan di persidangan bernilai sebagai alat bukti. Oleh karena itu keterangan terdakwa di hadapan penyidik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Apalagi, terdakwa sendiri hadir dalam persidangan. Kesewenangan juga terlihat ketika hakim menggunakan keterangan dari saksi de auditu, yang hanya mendengar tentang perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan tidak melihat perbuatan terdakwa. Menurut KUHP, keterangan saksi yang demikian tidak 
bernilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti jika keterangan itu bersumber dari apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Peradilan yang sewenang-wenang dan sesat adalah tanda kematian kekuasaan hukum. Karena itu mengenang terbunuhnya Tibo dkk, berarti memperingati kematian supremasi hukum dan keadilan di Indonesia.
 
Peringatan ini masih sangat relevan. Sebab meskipun sudah setahun berlalu peristiwa yang menimpa Tibo dkk, tetapi kondisi penegakan hukum di Indonesia belum banyak berubah. Penegakan hukum di Indonesia justru semakin marak dengan mafia peradilan yang syarat kepentingan diri dan kekuasaan. Para penegak hukum belum mampu menunjukkan kredibilitas mereka dalam menegakkan supremasi hukum. 
Partisipasi masyarakat masih perlu terus didorong agar lebih mampu mengontrol penerapan hukum dan mengawasi perilaku para penegak hukum di Indonesia.
 
Agar supaya peristiwa yang menimpa Tibo dkk, tidak terulang lagi di negara ini, maka semua pihak perlu mereformasi diri secara total untuk menegakkan supremasi hukum, menghormati berlakunya kekuasaan hukum. Masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara merdeka yang berdasar atas hukum harus secara aktif berpartisipasi mengontrol, tidak hanya penegakan hukum tetapi juga proses pembentukan hukum itu sendiri sehingga hukum betul-betul berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat, menciptakan ketertiban dan ketenteraman hidup bersama yang berkeadilan. Masyarakat harus sadar bahwa merekalah pemilik kekuasaan dan yang memberikan kekuasaan itu kepada wakil-wakil mereka untuk mengatur kepentingan bersama. Demikian juga para penegak hukum harus mampu menunjukkan kredibilitasnya melalui upaya pengadilan yang independen, berdasar atas hukum yang benar dan terus menerus mengusahakan keselarasan antara hukum sebagai das Sollen (hukum sebagai kaidah) dengan hukum sebagai das Sein (hukum sebagai sesuatu yang konkrit: perilaku dan fakta), secara konsisten dan erintegrasi. *
 
 
--------------------------------------------------------------------------------
 
Jebakan maut corporate social responsibility
 
Oleh Alexander Aur DALAM Kertas Kerja Sosialisasi Industri Pertambangan Terpadu Lembata yang ditujukan kepada masyarakat Lembata, PT Merukh Lembata Copper mengungkapkan bahwa akan melakukan pengembangan masyarakat (community development). Wujud konkrit pengembangan masyarakat yang akan dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, penyerapan tenaga lokal, pengembangan mutu pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan mengutamakan kesempatan usaha dan bekerja bagi penduduk lokal Lembata.
 
Dalam dunia korporasi atau perusahaan (khususnya korporasi pertambangan), pengembangan masyarakat (community development) merupakan perwujudan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan/korporasi (corporate social responsibility/csr). Di banyak tempat, corporate social responsibility -- selanjutnya disebut CSR -- merupakan langkah jitu dari perusahaan untuk menarik simpati dan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut di satu tempat. Sebagai contoh, PT Inco -- sebuah perusahaan pertambangan nikel dari Canada -- yang melakukan aktivitas pertambangan di Sorowako, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini mewujudkan CSR dalam beberapa aspek seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, pengembangan ekonomi (pertanian dan peternakan).
 
Bila dilihat secara sekilas, perwujudan CSR merupakan suatu langkah yang mulia. Hasilnya bisa langsung mengena (dirasakan/dinikmati) masyarakat setempat. Tetapi, sesuatu yang dilihat secara sepintas baik, ternyata mengandung jebakan-jebakan mematikan.
 
Tulisan ini akan menyoroti dua jebakan mematikan dari CSR. Pertama, secara konseptual (pada tataran ide) CSR mengandung dilema, yakni pertarungan antara ide tentang politik balas budi dan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan tambang. Korporasi atau perusahaan sering kali memahami CSR dan perwujudannya sebagai tuntutan etis dan moral. Para aras ini, perwujudan CSR merupakan karya karitatif dari perusahaan. Gagasan yang melatarinya adalah politik balas budi (politik etis).
 
Menurut perusahaan, politik balas budi harus dilakukan karena masyarakat sudah menyerahkan hak miliknya berupa tanah, air, udara, dan bahkan budaya kepada korporasi tambang. Politik balas budi ini pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, seperti pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat,subsidi untuk industri pribumi, dan kerajinan tangan. Pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) pada Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.
 
Ide politik balas budi tersebut bertentangan dengan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan -- terutama perusahaan tambang. Ideologi ekonomi perusahaan tambang adalah mencari dengan berbagai cara sumber-sumber ekonomi dan mengelolanya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Orientasi keuntungan (profit oriented) menjadi matra utama dan pertama dari perusahaan. Jelas sekali, bahwa tidak ada titik sambung yang menghubungkan ide tentang politik etis dan ideologi ekonomi, yang kedua-duanya dijalankan oleh satu subyek, yakni perusahaan tambang. Sedang berkembang cara berpikir dan praktik oleh perusahaan tambang yang tidak logis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masuk akal, bila 
sebuah perusahaan yang berorientasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di satu sisi, dan di sisi lain melakukan politik etis bagi masyarakat setempat? 
Bukankah ini sebuah dilema moral yang mendasar? Bukankah CSR merupakan bentuk penaklukan secara halus terhadap masyarakat setempat agar tidak memrotes aktivitas pertambangan?
 
Jika demikian, maka "CSR merupakan strategi pendekatan kaum neoliberal agar tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. Dengan kata lain CSR adalah alat penaklukan dalam kemasan berwajah sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah, yakni akumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya," (Sonny Sukada, 2007, hal. 19).
 
Kedua, beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), yang di dalamnya mengatur juga CSR. Salah satu ketentuan dalam UU tersebut adalah kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Pengesahan UU tersebut dilakukan setelah sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, seperti di Buyat Sulawesi Utara (pertambangan emas oleh PT Newmont Minahasa), Abepura Papua (pertambangan emas oleh PT Freeport Indonesia), dan Porong Sidoarjo Jawa Timur (pertambangan gas oleh PT Lapindo Brantas Inc).
 
Langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beberapa asosiasi pengusaha. Alasannya, UU tersebut bisa menjadi dasar praktik-praktik pemungutan liar. Banyak perusahaan beranggapan bahwa CSR merupakan bentuk kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena itu CSR tidak bisa dilegalkan dalam UU. Kepedulian sosial sebagai tindakan sukarela tidak bisa dibakukan dalam UU sehingga menjadikewajiban. 
 
Jika perusahaan memahami CSR sebagai tindakan sukarela, maka dengan mudah perusahaan melepaskan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Mungkin juga akan mewujudkan CSR tetapi dalam batas waktu tertentu saja.
 
Jelas, bahwa tidak ada kesamaan konsep tentang CSR antara pemerintah dan perusahaan/korporasi. Ketidaksamaan konsep tersebut akan berujung pada praktik di lapangan. Perusahaan kapan saja bisa enggan melakukan CSR atau masa perwujudan CSR yang terlalu pendek yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang diderita masyarakat. Akibatnya konflik berkepanjangan bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah. 
Siapa pun yang terlibat dalam konflik, yang sering menjadi korban adalah masyarakat setempat.
 
Jebakan-jebakan maut tersebut perlu diperhatikan secara serius dan mendalam oleh masyarakat setempat, yakni di lokasi pertambangan secara khusus, dan kabupaten secara umum. Itu agar masyarakat tidak mudah jatuh dalam jebakan yang mematikan diri sendiri. Pemerintah daerah juga harus kritis dengan tawaran berupa CSR dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar