Sabtu, 06 April 2013

Hak Mewaris Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK


Dari cerita yang Anda sampaikan, Anda menikah tanpa adanya surat nikah, dapat kami katakan bahwa perkawinan tersebut dilakukan secara siri atau hanya dilakukan secara hukum agama yang dianut. Meski secara agama perkawinan tersebut sah, namun menurut hukum Indonesia perkawinan tersebut belum sah selama belum dicatatkan.
 
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status hukumnya sama dengan anak luar kawin yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal 43 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
 
Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir dari kawin siri, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu(menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
 
Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melaluiputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.
 
Dengan adanya putusan MK ini, notaris Irma Devita Purnamasariberpendapat, tentu akan menjadi angin segar bagi anak luar kawin bila harus bertarung di pengadilan karena kedudukan anak luar kawin dalam pembagian waris semakin kuat. Lebih jauh simak artikel Putusan MK Bikin Repot Pembagian Waris.
 
Anda tidak menjelaskan agama dari pewaris, maka kami akan mencoba menjawab pertanyaan Anda berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) atau disebut juga Burgerlijk Wetboek (“BW”) dan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
 
Hukum waris bagi yang beragama Islam diatur dalam KHI, sedangkan bagi yang tidak beragama Islam diatur dalam KUH Perdata.  Simak penjelasannya di bawah ini.
 
a)   Bagi penganut non-Islam
Yang berhak mewaris adalah:
a.  Golongan I, yaitu suami/istri yang hidup terlama dan anak-anak beserta keturunannya terus kebawah tanpa batas (Pasal 852 KUHPerdata);
b.    Golongan II, yaitu ayah/ibu atau ayah dan ibu beserta saudara-saudaranya dan keturunannya terus ke bawah tanpa batas (Pasal 854 dan Pasal 855 KUHPerdata);
c.  Golongan III, yaitu kakek/nenek atau kakek dan nenek dari garis ayah maupun garis ibu (Pasal 858 KUHPerdata);
d.    Golongan IV, yaitu keluarga dalam garis lurus ke samping yang lebih jauh dari saudara, dibatasi sampai derajat keenam (Pasal 861 KUHPerdata).
 
Adapun asas dari ahli waris yang disebutkan di atas adalah bahwa dengan adanya golongan ahli waris I secara hukum akan menutup ahli waris golongan II dan demikian seterusnya. Lebih jauh simak artikel Apakah Warisan Bisa Jatuh ke Paman dan Tante?
 
b)   Bagi penganut Islam
Kelompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu: (a) golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek, dan (b) golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (Pasal 174 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam atau KHI). Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda (Pasal 174 ayat [2] KHI). Lebih jauh simak artikel Apa Hukum Waris yang Berlaku?
 
Sehingga, dari uraian di atas, anak Anda berhak atas warisan dari ayahnya. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk mencantumkan nama anak Anda dalam sertifikat, akan tetapi, anak Anda memiliki hak untuk mendapat bagian dari penjualan tanah ayahnya yang akan Anda jual tersebut.
 
2.    Selanjutnya, mengenai apakah waris juga jatuh pada saudara-saudara suami Anda, jika pewaris beragama selain Islam, ada penggolongan-penggolongan ahli waris yang bersifat saling menutup atau menggantikan tempat. Sehingga, pada saat seseorang meninggal, warisan akan jatuh pada golongan ke-1, jika ternyata golongan 1 tidak ada, warisan jatuh pada golongan ke-2, demikian seterusnya. Simak lebih jauh penjelasannya dalam artikel Hak Waris Kakak dan Adik.
 
Sedangkan jika pewaris beragama Islam, secara garis besar Hukum Islam membagi 2 (dua) golongan ahli waris yang dapat Anda simak dalam artikelPembagian Harta Waris Istri Tanpa Anak. Pada prinsipnya, dalam Hukum Islam juga ada suatu alasan yang membuat seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan haknya, halangan tersebut dikenal dengan istilah Hijab yang berarti dinding.
 
Semoga dapat membantu.
 
Dasar Hukum :
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetboekStaatsblad 1847 No. 23)
4.    Kompilasi Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar